Kamis, 09 April 2015

Kasus Marsinah



KASUS MARSINAH
Penggalan lagu di atas kerap kali terdengar ketika memperingati hari Marsinah. Ia dikenal sebagai pahlawan buruh yang hilang dan akhirnya ditemukan tak bernyawa di ladang petani di desa Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah, adalah buruh yang menjadi korban kekejaman Orde Baru. Ia terlibat aktif dalam perlawanan untuk menuntut kenaikan upah sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur., No. 50/Th. 1992, dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Vokalitasnya dalam menuntut kenaikan upah 20 persen dari gaji pokok di pabrik arloji PT Catur Putra Surya tempat ia bekerja, berujung pada penghilangan nyawanya. Tanggal 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan dalam kondisi telah mengalami penyiksaan berat hanya karena kenaikan upah sebesar Rp 550.
Genap sudah dua puluh tahun kasusnya terabaikan oleh pemerintah, pengusutan kasusnya berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Selama kurun waktu tersebut dalang dibalik terbunuhnya Marsinah tidak pernah terungkap. Kasus Marsinah, merupakan sebuah catatan hitam bagi penegakan keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Sejak jaman Orde Baru, gerakan buruh mengalami intimidasi yang cukup kuat . Organisasi-organisasi buruh yang ada dibatasi hanya pada satu payung yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Penyelesaian-penyelesaian kasus perburuhan pada masa Orde Baru dianggap tidak adil dan dengan mengandalkan kekuatan militer. Bahkan militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Mereka diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung represif guna menghentikan perlawanan gerakan buruh. Salah satu kasus yang paling nyata adalah kasus Marsinah di tahun 1993.
Setelah era reformasi, kondisi perburuhan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Ruang-ruang demokrasi mulai terbuka lebar. Pada perkembangan gerakan buruh, ditandai mulai dari berkembangnya organisasi-organisasi politik buruh, menjamurnya serikat-serikat pekerja di tingkat pabrik hingga aturan-aturan hukum perburuhan yang dianggap interpretatif bagi penyelesaian kasus-kasus perburuhan antara lain Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Namun, sekedar aturan saja tidaklah cukup. Penerapan aturan-aturan hukum yang sangat tidak maksimal membuat kaum buruh harus bersusah payah menuntut apa yang menjadi hak mereka yang jelas-jelas sudah tertuang dalam UU. Ini dikarenakan lemahnya pemerintah kita mengontrol kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sehingga terkesan ada pembiaran dan pengabaian. Akibatnya,di dalam pabrik pengusaha-pengusaha memainkan aturan ini dengan berbagai cara yang tentu saja agar mereka bisa mendapatkan nilai lebih dari tidak diterapkannya aturan-aturan tersebut.
Problematika Buruh Perempuan
Seperti Marsinah, buruh perempuan lainnya masih juga menuntut hak-hak normatif yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diminta. Dan ternyata masih banyak perusahaan/pabrik yang tidak memberikan hak tersebut. Misalnya cuti haid yang tertuang dalam Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003 masih diabaikan atau kemudian dialihkan melalui aturan/ perjanjian kerja yang isinya memotong masa cuti tahunan jika mengambil cuti haid atau memotong gaji yang besarnya ditentukan oleh manajemen pabrik jika mengambil cuti haid. Ini kemudian memaksa buruh perempuan untuk urung mengambil cuti haid. Pada kasus lain, lembur yang tidak dibayarkan secara penuh masih sering terjadi di beberapa pabrik/ perusahaan. Ironisnya, pengusaha berdalih bahwa lembur adalah bagian dari pengabdian para pekerja terhadap perusahaan. Ada pula pabrik yang menyediakan makanan ketika lembur hingga 4 jam di luar jam kerja, tetapi lembur tetap tidak dibayarkan dengan alasan uang lembur mereka telah berubah menjadi makanan yang mereka makan.
Upah, yang kerap menjadi isu utama bagi kaum buruh sepanjang masa, terutama buruh perempuan. Kebanyakan buruh perempuan digaji lebih rendah karena anggapan-anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah diintimidasi dan tidak berani melawan, perempuan bekerja untuk membantu suami sebagai penafkah utama, atau karena anggapan bahwa kesempatan kerja bagi perempuan sangat sedikit karena pendidikan yang rendah sehingga akhirnya mau digaji berapapun asalkan bekerja dan punya penghasilan. Penangguhan UMP 2013 ditengarai ada permainan antara pemerintah dan pengusaha, dengan alasan bahwa UMP 2013 tersebut terlalu tinggi melampaui KHL dan bisa mengakibatkan kebangkrutan perusahaan. Padahal, selama ini 46 Komponen KHL ( Permenaker No.17/2005 ) yang dijadikan patokan kenaikan UMP sangat tidak relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun telah menegaskan bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Lainnya.
Kasus pelecahan seksual tak kalah maraknya terjadi di pabrik-pabrik. Dan sudah pasti korbannya adalah buruh perempuan. Modus pelecehannya pun bermacam-macam, mulai dari pelecehan secara verbal seperti bersiul atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, psikis seperti lirikan mata dan gerakan lidah dan fisik yang mengarah pada perbuatan seksual seperti mencolek atau mencium. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh atasan mereka sendiri dengan iming-iming kenaikan gaji atau pemindahan ke divisi kerja yang lebih baik. Dan jika terjadi kasus pelecehan seksual, justru kebanyakan tidak mendapat tanggapan positif oleh pihak manajemen pabrik atau bahkan menyalahkan korban dan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan.
Kembali lagi, tidak adanya jaminan keamanan kepada buruh perempuan menyebabkan mereka tak mampu melindungi dirinya sendiri dalam sebuah payung peraturan. Walaupun telah dikeluarkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang dikeluarkan olah Kemenakertrans yang bekerjasama dengan ILO, namun tetaplah belum mampu mencegah atau menurunkan tingkat pelecehan seksual di pabrik-pabrik. Pedoman tersebut hanyalah himbauan dan anjuran, tetapi bukan merupakan jaminan hukum tetap dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh kaum buruh perempuan. Juga tidak adanya perlindungan keselamatan bagi buruh perempuan yang bekerja di shift sore hingga malam semisal menyediakan sarana angkutan antar jemput khusus, terbatasnya jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi buruh perempuan yang menyusui seperti menyediakan Tempat Penitipan Anak dan Ruang Menyusui di tempat kerja, menunjukkan betapa lemahnya peran negara atas keberpihakan mereka terhadap buruh perempuan.
Marsinah dan buruh masa kini
Marsinah, adalah potret pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan Marsinah, adalah juga apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini. Ingatan rakyat Indonesia terhadap tak akan pernah hilang. Tepat hari ini 8 Mei, kematian Marsinah telah menyalakan obor perjuangan kaum buruh di Indonesia, khususnya buruh perempuan. Patutlah, Marsinah diberi penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap apa yang telah ia abdikan atas nama buruh yang ditinhdas.
Marsinah, ia yang berani menentang antek-antek penguasa Orde Baru saat itu dalam menuntut kenaikan upah hingga berujung pada kematiannya, hendaknya menjadi semangat buat kaum buruh di Indonesia untuk tidak lelah berjuang menuntut apa yang telah menjadi hak. Matinya Marsinah jangan sampai sia-sia, jangan sampai perjuangannya terlupakan begitu saja. Perlawanannya tetap akan hidup dalam setiap teriakan “hidup buruh yang melawan” dan dalam setiap langkah kaum buruh yang masih berjuang sampai hari ini. . Sudah saatnya buruh mendesak kepada pemerintah mengambil sikap tegas kepada para pengusaha nakal yang melakukan penangguhan upah terselubung, yang membiarkan pelecehan seksual terjadi di lingkungan pabrik dan PHK sepihak. Pemerintah pun harus segera menerapkan aturan perundang-undangan secara menyeluruh tanpa adanya kepentingan sehingga dapat dijadikan payung hukum bagi tegaknya HAM dan demokrasi bagi kaum buruh di Indonesia.
Dan sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah harus berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Pertanyaan yang muncul kemudian : “apakah pemerintah yang sekarang ini mau membuka kembali kasus ini, agar keadilan dapat ditegakkan?”. Sebab, keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi Manusia

Kasus Pelanggaran Ham



KASUS PELANGGARAN HAM
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Enam belas tahun sudah tragedi  Semanggi berlalu tanpa ada kepastian hukum. Saat ini kembali bangsa Indonesia memperingati momentum Mei berdarah, yang telah melahirkan pahlawan reformasi. Namun banyak orang sudah mulai lupa makna di balik pejuangan para mahasiswa tersebut.Belum adanya titik terang kasus Trisakti-Semanggi sangat erat hubungannya dengan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa pihaknya kesulitan menangani kasus Trisakti sebagai pelanggaran berat HAM (JawaPos, 13/05/2007). Tragedi  Semanggi yang dikategorikan termasuk  Pelanggaran HAM berat, menjadi banyak tanda tanya di masyarakat. Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai Tragedi Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan  dari pemerintah sendiri.
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (19781998), Heri Hertanto (19771998), Hafidin Royan (19761998), dan Hendriawan Sie (19751998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 19971999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/ MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru HaraKodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
  1.       Tragedi Simangi I  1998 dan Simangi II 1999
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 1113 November1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/ MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/ TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada 24 September1999, untuk yang kesakian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kalau itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya
Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :
a.         Pembunuhan
Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
b.        Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.
c.         Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa yang dialaminya.
d.        Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
e.         Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap korban.
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM
Penanganan dan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Sepertinya keberadaan UU HAM, Komnas HAM, dan KPP HAM tidak berdaya mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut. Ironisnya justru memunculkan perbedaan pendapat. Apakah tragedi berdarah ini termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan. Sebenarnya ada apa dengan aparat penegak hukum kita.
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus diwarnai dengan carut-marut dunia politik. Bahkan dalam rangka melaksanakannya diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin orang yang telah putus syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa.Demi kaum yang lemah.